Sate Kampung


Pagi itu, kami berniat untuk berangkat silaturahmi ke salah satu rekan Ayah saat kuliah, Om Ivan.
Om Ivan kini bekerja di Bank Rakyat Indonesia, BRI. Om Ivan kini tinggal di desa Maniis, mengikuti tempat tinggal istrinya. Untuk sampai ke tempat Om Ivan, kita harus melewati beberapa daerah terkenal, diantaranya pusat gerabah di Purwakarta yakni Plered, dan kawasan Bendungan Cirata. Jarak dari rumah kami ke Maniis adalah 36 Km dan bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Kami berangkat jam 7 dengan harapan, sebelum dzuhur sudah berada di rumah kembali.

Perjalanan bertambah menarik karena mbah kakung dan sepupu kami, de Arin turut serta. meski awalnya khawatir de Arin akan rewel dan selalu meminta pulang, nyatanya tidak terjadi. De Arin menikmati perjalanan, turut bernyanyi dan bercengkrama sepanjang perjalanan, alhamdulillah.

Selain melewati dua tempat dengan kekhasan masing-masing, daerah ini (terutama Plered) juga dikenal karena kulinernya yang menggugah selera, ya sate maranggi. Tentunya selain Sate Maranggi yang sudah melegenda, Sate Maranggi Hj Yetti.

Sate maranggi, adalah salah satu teknik pengolahan sate yang khas, bahan bakunya bisa daging kambing atau daging sapi. Dagingnya dibumbui, kemudian dipanggang sejenak, dan sate pun jadi. Tanpa bumbu yang beraneka, sate siap disantap, nikmat.

Pemerintah Kabupaten Purwakarta menyadari bahwa sate maranggi memiliki daya tarik tersendiri. Karenanya, di Plered, tak jauh dari stasiun kereta api Plered, dibangun Kampung Sate Maranggi. Kampung Sate Maranggi, merupakan kumpulan kios yang menjajakan sate maranggi, gule, dan sop.  

Ada yang khas di penjual sate di sana. Asal kita duduk dan mengambil nasi berbungkus daun pisang, kita tidak perlu menyebutkan mengenai berapa banyak sate yang kita inginkan, maka para penjual sate takkan berhenti memanggang. Beda dengan penjual sate ditempat lainnya, mereka baru akan memanggang setelah jumlah pesanan ditentukan. 

Penjaja sate maranggi di Plered, mengingatkan ayah pada penjual sate keliling yang sering mangkal di sekitar Mesjid Wanayasa. Saat itu, sepulang dari Bandung, ayah mampir di penjual sate keliling tersebut. Ayah mengobrol sejenak lalu mengambil nasi yang dibungkus daun pisang dan penjual sate pun langsung menyajikan sate panas siap santap, tanpa bertanya mau pesan berapa banyak terlebih dahulu. Ternyata, di Purwakarta, ada banyak penjaja sate model ini, terutama di kios-kios penjual sate di daerah perkampungan. 

Semoga sate maranggi tetap mendapat tempat di kalangan para pecinta kuliner nusantara.

Nah, ananda sekalian, perjalanan hari ini jelas menambah pengalaman. Semoga perjalanan kita hari ini menambah pengetahuan dan wawasan. 




5 komentar:

  1. Sangat menyenangkan.. Sepertinya sate maranggi nya menggoda.. Mantap 👍

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Eh ada Bu Kanjeng... Salam... ini hanya kegiatan rutin keluarga, outing, direkam dalam tulisan, mudah-mudahan anak-anak terstimulasi untuk membaca... Terima kasih sudah berkunjung

      Hapus
  3. Kulinernya mantap semantap tulisannya

    BalasHapus

Foto Guru dan Tendik 2023

 https://drive.google.com/drive/folders/1gE4q2TOemgEUJ79XwaHjkRd-rcLzMo_B